Halaman

Halaman

About Me

Foto Saya
Shintya
Simple
Lihat profil lengkapku

Followers

Search

RSS

Ada Saat Kita Boleh Jadian

          Hanya berbaring yang bisa kulakukan diatas kasur rumah sakit ini yang tidaklah empuk. Tanganku tak bisa lagi menuliskan rangkaian syair indah dan lidahku juga tak kuasa untuk melantunkannya. Hanya kaki kananku yang masih bisa ku gerakkan sebagai pemberi isyarat pada orang-orang selama lidahku enggan berucap. Disaat seperti ini yang kurasakan hanyalah penyesalan, mengapa Tuhan tidak langsung saja memanggilku. Air mataku bahkan sudah kering menyesali kehidupan yang tak berarti seperti ini.

Ibu yang sejak tadi berada disampingku terus saja meneteskan air matanya ketika bibirnya menceritakan kenangan-kenangan masa kecil anak lelaki satu-satunya ini. Ia tak henti menangis meskipun sudah tak mengenang lagi.
“ibu ingat ketika kamu berumur 2 tahun, ketika kamu sudah mulai bisa berbicara!” bibirnya berusaha tersenyum disela tangis.
“kamu meminta sepeda roda tiga namun karena ibu tak punya uang jadi tidak bisa ibu belikan, karena kecewanya kamu menggigit tangan ibu!” ujarnya sambil tertawa kecil.
“melihat itu kakakmu marah dan mencubit kulit halusmu hingga terkelupas” ujarnya sambil membelai lembut rambutku.
            Perempuan setengah baya itu terdiam, matanya memerah karena menangis, lalu ia menghela napas panjang dan kembali bercerita.
“ ketika kamu sudah di taman kanak-kanak ibu terkejut dengan bicara-bicara anehmu, kamu begitu cerewet seperti anak perempuan saja” ujarnya sambil tersenyum.
“mungkin karena saudaramu perempuan semua ya nak!” kali ini ibu tertawa.

            Aku hanya bisa tersenyum melihat perempuan yang paling kucintai itu tertawa, aku lega karena ia tlah menghentikan tangisnya.
“kamu ingat nak, ketika kamu bilang pada ibu kalau kamu suka pada seorang perempuan?” tanyanya mencoba mengingatkan.
            Aku hanya tersenyum mengisyaratkan padanya bahwaku tak pernah lupa dengan hal itu. Ucapan yang spontan keluar dari mulut anak taman kanak-kanak yang masih polos dan lugu.
“apa kabar ya dengan dia sekarang? mungkin sudah jadi perempuan yang anggun ya, anak ibu ini pasti takjub” ucapnya menggodaku
            Dan lagi aku hanya bisa tersenyum menanggapi ucapan-ucapan ibu, senyum getir disaat hatiku merasa hidup ini tak berarti lagi.
“anakku, ibu ingin kamu cepat sembuh dan cepat menyelesaikan kuliahmu. Ibu ingin punya kesempatan melihatmu menggandeng pendamping hidup” harapnya dengan mata yang berbinar.
Tok tok tok!!!
“Assalamu’alaikum” ucap seseorang dari luar ruangan.
            Ibu mendekati pintu sambil menjawab salam itu, salam itu sejenak menghentikan ceritanya. Sementara aku memikirkan siapakah kiranya yang datang dipagi seperti ini, ibu membuka pintu dan tersenyum pada sang tamu. Kulihat seorang perempuan berjilbab datang dengan kantong kresek berisi buah. Yupz, perempuan kecil yang kusuka ketika taman kanak-kanak itu datang mengunjungiku, aku sudah lama menunggumu Dinda. Ku hentakkan kaki kananku mengisyaratkan silahkan masuk padanya.
“tante, kenapa Rifky seperti itu, apa dia tak suka dengan kedatanganku?” tanyanya sedih.
“bukan, itu caranya menyambutmu karena cuma kaki kanannya yang bisa digerakkan” jelas ibu lirih.
            Dinda langsung lari menghampiriku dan duduk dikursi tempat ibu duduk tadi. Dia menatapku pilu, menyesali sesuatu yang telah terjadi belakangan ini, antara kami tentunya.
“tante keluar dulu ya Dinda, sudah 2 hari ini tante tidak pulang” ucap Ibu sambil tersenyum
“tapi tan….” Potong Dinda
“walaupun kalian hanya berdua takkan terjadi apa-apa, karena tante percaya kamu dan Rifky tak mungkin melakukan apapun dengan kondisi seperti ini” jelas ibu
“ya tante, tante hati-hati ya” jawab Dinda sambil menggangguk.
            Kenapa dia bisa datang kesini, bagaimana dengan kuliahnya. Aku lebih baik tidak dikunjungi daripada dia harus datang kesini dan meninggalkan studinya disana. Aku tau persis bagaimana keinginan dan perjuangannya untuk bisa masuk ke perguruan tinggi ternama di negeriku itu. Dan kini dia meninggalkan sejenak impiannya itu hanya untuk mengunjungi pemuda yang tak berdaya ini.
“maafkan aku Rifky, andai saja..” ucapnya sambil menghela napas.
            Untuk apa kau berandai-andai atas apa yang telah terjadi Dinda. Untuk semua yang telah menjadi penyesalan dalam hidup ini, andai lidahku ini bisa berbicara akan kubantah ucapanmu itu.
“andai saja waktu itu aku mendengarkan perkataanmu, mungkin kau takkan seperti ini” lanjutnya
            Aku begitu ingin menghentikan ucapan-ucapan yang hanya akan membuatnya semakin terluka itu. Rangkaian kata yang keluar dari mulutnya itu hanya akan membuatnya semakin bersalah dengan semua yang telah terjadi. Kucoba untuk menggerakkan lidah ini namun masih terasa berat dan kaku.
            Tangannya beranjak seakan ingin mengusap keningku, membelai lembut rambutku namun ia menggumpalkan tangannya dan menariknya kembali. Dinda menangis karena dia belum bisa menyentuhku, dia menggelengkan kepalanya dan menunduk. Aku bisa merasakan kerasnya dia mempertahankan apa yang ia yakini. Sekeras ia mempertahankannya sekeras itu pula aku mengukir namanya dihatiku, pemuda ini terlanjur kagum dengan perempuan itu.
“aku tak bisa, bukan! Aku hanya belum bisa” sesalnya.
“aku yang salah ky, karena mendengar aku kecelakaan waktu itu kau begitu shock dan menjadi stroke seperti ini, kau pasti begitu mencemaskan aku” ucapnya lirih
“bodoh benar kau din! Sudah jelas dia begitu mengkhawatirkanmu yang jauh dari pandangannya, apa kau tak sadar?!” Dinda membentak dirinya sendiri.
            Semakin lama dia terus membiarkan dirinya merasa paling bersalah, air matanya tak berhenti mengalir. Aku menyaksikan seorang perempuan yang bukan keluargaku menangis karenaku, tepat dihadapanku. Air mataku yang semula kering kini menetes lagi ditengah kepiluan hati.
“d.. dinda.. cu… cukup!!” ucapku pelan.
Dia sontak terkejut dan menatapku dalam.
“Rifky, kamu tadi berbicara. Syukurlah, perlahan kamu pasti sembuh” ucapnya riang
Air matanya kini berhenti mengalir dan kulihat dia tersenyum indah, menyejukkan.
“kamu sudah makan?” tanya Dinda
“belum”
“makan ya, aku suapin deh”
“nanti ja lah”
“kamu terlihat capek, aku pijat ya”
            Tangan halusnya itu memijat tangan kiriku yang diselimuti lengan baju. Dia terus memijat dengan riang dan berharap aku sembuh.
“sudahlah nda” ujarku
“kenapa? Ndak enak ya pijatannya?” tanyanya murung.
“bagaimana dengan kuliahmu? Kenapa kau bisa ada disini?” tanyaku lancar.
“aku hanya bolos 2 hari, karena setelah itu sudah libur 1 minggu” jawabnya ringan.
“kenapa bolos? Lebih berhargakah aku daripada impianmu itu?!”
“kau membentakku” ucapnya sambil menangis.
            Dinda lari keluar ruangan dan meninggalkan ku sendirian dikamar ini. Apa aku berlebihan membentaknya sehingga dia menangis dan pergi begitu saja. Apa ia akan kembali kesini ataukah ia marah padaku dan tak ingin lagi bertemu denganku. Sungguh, hidupku akan lebih tak berarti jika kau tak lagi mempedulikan aku.
            Aku membuka mata setelah tertidur saat Dinda pergi meninggalkanku. Langit sudah berubah gelap, dari jendela kulihat jelas sinar rembulan yang putih namun tak menyilaukan.
“Rifky, kamu sudah bangun? Selamat malam jelek” sapa Dinda
“eh, kukira kamu sudah pergi” ujarku heran.
“pergi kemana? Buat apa aku jauh-jauh kesini dan kemudian pergi lagi” tuturnya
“nak, kamu makan lah, biar ibu suapkan” ucap Ibu menyela
“biar aku tante” Dinda merebut piring itu dari tangan Ibu.
“ayo,, buka mulutnya” pintanya
“tidak, aku malu” jawabku
“Kamu sudah bisa bicara nak, syukurlah, ibu bahagia sekali” tutur Ibu dalam syukur.
“iya bu, aku juga tak menyangka secepat ini” jawabku
“sekarang kamu makanlah, ada Dinda yang mau nyuapin tuh” goda Ibu
“aku malu” wajahku memerah.
“kalau kamu malu biar Ibu tinggal sebentar”
            Langkah kaki tuanya beranjak meninggalkan ruangan itu. Ibu paham sekali dengan anaknya ini. Ia keluar pintu sambil mengucapkan salam dan tersenyum padaku.
“ayo makan” ajak Dinda
            Dinda menyuapiku pelan dan tulus. Setiap perhatiannya itu membuatku merasa dia telah begitu dekat denganku, membuatku meyakini bahwa dia yang Tuhan kirimkan untuk menemaniku. Namun tak lah pantas aku memikirkan hal yang belum pada waktunya, masih banyak yang kucari sebelum ku bisa menetapkannya dan membuatnya tinggal denganku. Usia kami masih tergolong remaja, namun ntah kenapa aku merasa dia bagai istriku. Pikiran yang aneh.
“kamu cepat sembuh ya, langit malam ini begitu indah”
“hmm”
“ingin rasanya aku mengajakmu memandangi indahnya lukisan malam itu”
“buat apa?”
“orang bilang itu romantis” jawabnya tersenyum
“kau menginginkannya?” tanyaku
“iya, karena sedikit sekali cara untuk kita menumpahkan rindu” jawabnya spontan
Sejenak suasana diruangan itu menjadi hening, tangannya yang dari tadi menyuapiku juga telah berhenti. Keheningan itu menghantarkanku ke alam tidurku.
-= f.a.d.d.y =-
            Seminggu sudah Dinda disini, menemaniku, menyuapiku, menghibur hingga memberi semangat saatku terapi. Hidupku yang dulu hanya penyesalan kini berangsur berarti, bibirku tak berhenti bersyukur kepada-Nya. Meski tubuhku belum bisa bergerak sempurna tapi hatiku sudah bisa memahami arti hidupku, arti hadirku bagi setiap orang yang mengenalku.
“Dinda mana bu?” tanyaku pada Ibu
“dia pulang sebentar, katanya mau ngantar pakaian yang sudah numpuk disini” jawabnya
“perlahan aku mulai sembuh Bu” ucapku tersenyum
“syukurlah nak, Dia mengabulkan doa ibu selama ini. Terimakasih juga untuk Dinda yang menjadi semangatmu untuk sembuh, serta Nita yang membantu biaya pengobatanmu” jelas Ibu
“apa Bu? Nita teman SMA-ku itu Bu?” tanyaku penasaran
“iya, dia mendengar kabarmu dan langsung menghubungi Ibu”
“lalu kenapa dia tak menemuiku bu?”
“dia sibuk mengurusi butik mamanya yang sedang dikelolanya”
“Nak, andai nanti kamu memilih pendampingmu ibu takkan menolak jika yang kau pilih itu adalah Nita, dia lembut dan berhati mulia” ujarnya mulai menerawang ke masa depan
“ah Ibu, aku belum bisa memikirkan itu, dan mungkin nanti aku akan dihadapkan dengan pilihan yang berat” jawabku
“kau akan memilih antar Dinda dan Nita, begitukah?” tanyanya
“haha, Ibu ini” aku hanya tertawa dan memeluknya.
            Dibalik pintu ruangan itu kulihat perempuan berjilbab berlari menjauh. Itu Dinda, dan mungkin dia mendengar percakapan kami tadi dan merasa tersinggung atau apa. Aku bangkit dari tempat tidur dan berusaha mengejarnya.
“Dinda…” aku memanggil namanya sambil terus berlari.
            Mestinya kau paham dengan kondisiku sehingga tak membuatku mengejarmu. Tubuhku yang belum begitu pulih tak ku hiraukan untuk berlari mengejarmu. Dan pada akhirnya aku tersungkur karena memang tubuhku belum benar-benar pulih. Dia menoleh ke belakang dan berbalik mengejarku.
“Astaghfirullah, ya ampun sayang” ucapnya sambil menangis
“apa? Kau mau pergi, pergilah!” bentakku
“maafkan aku, maaf,,” pintanya
            Seseorang membantuku berdiri dan mendudukkanku dikursi tunggu di lorong rumah sakit itu. Dinda duduk disampingku sambil merundukkan kepalanya, yang keluar dari bibirnya hanyalah kata maaf.
“kenapa kau lari?” tanyaku padanya
“aku,, aku iri dengan sahabatmu itu yang bisa membantumu” jawabnya
“kamu juga begitu membantuku hinggaku bisa seperti ini”
“tapi aku bukan siapa-siapa, aku orang yang tak berstatus jelas dihidupmu”
‘kamu masih saja memikirkan itu?”
“iya, aku bukan temanmu, sahabatmu, keluargamu, apa lagi kekasihmu. Aku ini siapa?!” tanyanya sambil menggoyang pundakku.
“pahamilah, kau perempuan yang kusayang” jawabku
“sayang? Jangan mengobral sayang! Apa benar kau sayang dengan seorang yang bahkan tak bisa kau sentuh. Tak bisa kau ajak berkencan berdua di tempat-tempat remaja-remaja itu” bentaknya.
“kau berbeda Dinda” jawabku datar
“aku memang sangat berbeda, aku tak seperti perempuan-perempuan lain yang diidam-idamkan para lelaki” ujarnya diiringi tangis.
            Menangis? Tak adakah cara lain bagi seorang perempuan selain menangis? Aku benar-benar kalah ketika melihat perempuan menangis dihadapanku. Tebing karang hatiku dengan mudahnya luluh dan bahkan mencair karenanya. Sejak sudah sekian lama tak bertemu perasaan Dinda begitu halus dan lebih sensitif.
“dengarkan aku” pintaku padanya
Dinda hanya diam dan kembali menundukkan kepalanya.
“aku memilihmu karena ku ingin menjadi lelaki beruntung yang bisa mendapatkan perempuan yang baik” jelasku dan menghela napas panjang
“aku hanya tak ingin terjebak dalam cinta yang indah namun menyesatkan –walaupun sekarang adalah belum pantas, dan apa kau tahu aku bukanlah lelaki yang kuat sebelum ku mengenalmu” jelasku lagi
“begitukah?” tanyanya
“maaf jika ku tak bisa menjelaskannya dengan tutur kata yang indah, aku tak bisa memanjakanmu dengan kata-kata menawan, aku tak bisa menyanjungmu” aku merasa bodoh dihadapannya.
“aku tidak perlu keromantisan, aku hanya butuh kesungguhan. Aku mau bukti Rifky”
“bukti apa?” tanyaku
“rasanya aku ingin cepat memilikimu, menjadi pendampingmu” jawabnya malu.
“seperti itukah? Jika kau mau bersabar menunggu”
“apa kau benar bersungguh-sungguh?” tanya Dinda ragu
“apa aku perlu membuat surat perjanjian dengan materai atas perkataanku tadi?” ujarku
“ndak usahlah jelek, lebay ni” tuturnya sambil tersenyum
            Ah, drama cinta, aku merasa geli dalam hati dengan apa yang baru saja terjadi. Kisah ini bagai potongan serial asia yang biasa kutonton di sore hari.
“nah, kamu mau menunggu beberapa lama lagi hingga ku mampu mengajakmu jadian?” tanyaku
“jadian? Haha. Ada saatnya nanti kita boleh jadian dan berpacaran dalam suasana yang resmi” jawabnya sambil tersenyum.
“jadi mau ndak ni menunggu tuk jadi pacarku?” tanyaku menggoda
“mau, tapi sebelum itu kamu harus banyak duit dulu ya” ucapnya manja.
            Aku sontak tersenyum mendengar perkataan Dinda tadi. Dan yang lebih mengejutkan lagi orang-orang sudah berkumpul termasuk Ibu menyaksikan drama cinta yang tak karuan tadi. Ntah sejak kapan mereka disini, aku dan Dinda hanya menunduk malu hingga mereka semua beranjak pergi.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
125x125 Ads1