Halaman

Halaman

About Me

Foto Saya
Shintya
Simple
Lihat profil lengkapku

Followers

Search

RSS

Adik dari masa lalu

"Kamu baik sekali, sih?"
"Ah, cuma itu aja, kok."
"Iya, tapi saya jadi nggak enak."
"Nggak enak kenapa?"
"Nggak enak aja. Nggak enak sama saya sendiri. Nggak enak sama kamu...."
Ini suatu sore yang indah. Saya menelepon Devi, untuk menanyakan apakah kiriman majalah dan CD-nya sudah sampai atau belum.
Devi, terus-terang, bukan apa-apa saya. Saya ketemu dia waktu ikutan 'Summer Program' ke University of Maine, Amerika Serikat. Entah kenapa, saya jadi dekat sama dia. Mungkin karena dalam banyak hal, dia seperti Titi adik saya yang sudah tidak ada. Cantik, manja, baik, dan enak diajak ngomong. Maksudnya, ngomongin apa saja nyambung.
Saya tidak tahu persis bagaimana awal keakraban itu terjadi. Yang saya ingat adalah, dua hari menjelang kembali ke Indonesia, host-parent Devi harus terbang ke New York. Jadi, Devi kudu pindah ke asrama yang ditempati saya dan dua chaperone. Dari situ, keakraban mulai tercipta. Memang, saya sendiri baru sadar belakangan. Sepertinya, kalau tidak ada Devi, perasaan tidak asyik saja. Saya merasa kehilangan kalau beberapa jam saja tidak lihat dia. Entahlah!
"Makan, ya?" bujuk Devi, saat di pesawat. Hanya dia yang mampu membujuk saya makan di pesawat dalam kondisi perut mual. Maklum, penerbangan dari Boston ke Tokyo, Tokyo-Singapura itu makan waktu yang sangat panjang. Yang lebih parah, waktu berangkat saya tidak bisa ngapa-ngapain karena mabuk.
Beruntung, pulangnya saya duduk dengan Devi. Ada teman untuk berbagi. Jadi, walau penerbangan itu lama, saya bisa menikmati.

***
"Kalo nggak nelepon sehari aja, memangnya kenapa, sih?"
"Saya nggak bisa. Saya kangen."
"Kangen gimana?"
"Ya, kangen aja pengen denger suara kamu...."
"Ah, masa...."
Ah, Dev. Andai kamu tahu. Andai kamu tahu kalau sampai sekarang saya masih menyimpan 'janji' pada Titi, adik saya. Ya, saya tidak akan pernah lupa kendati sudah lima tahun silam. Peristiwa itu masih lekat dalam ingatan.
"Boleh nggak saya sekolah SMA di Jakarta? Ikut Kakak. Saya pengen deh sekolah di sana. Nanti biar saya yang masakin, cuciin baju, ngepel...."
Itu permintaan Titi, adik perempuan saya satu-satunya. Waktu itu, saya baru semester dua. Memang, secara ekonomi, tidak ada masalah seandainya Titi ikut saya. Tapi sebagai kakak, terus-terang—saya tidak menginginkan hal itu terjadi.
Terus-terang, saya takut dia jadi berubah seandainya sekolah di Jakarta. Maklum, dia, seperti juga saya—dibesarkan dalam keluarga muslim yang fanatik. Ketakutan saya memang agak berlebihan. Tidak tahu kenapa. Mungkin karena saya teramat menyayanginya. Tahu sendiri, pergaulan di kota besar jauh berbeda dengan kebiasaan yang selama ini dia alami. Makanya saya tidak setuju.
"Jangan ada mimpi sekolah di Jakarta," ujar saya waktu itu. "Kamu harus masuk Pesantren!"
"Tapi, Kak...." Titi mengkerut. "Saya pengen banget sekolah di Jakarta seperti teman-teman yang lain."
"Nggak! Lagian, kasihan Mama kalo kamu terlalu jauh. Kalo di Pesantren kan, bisa pulang seminggu sekali," kata saya tandas.
Bahkan ketika Titi meminta liburan ke Jakarta, saya pun hanya menjanjikannya. "Nanti saja kalo liburan panjang."
Tapi, janji itu nggak pernah saya tepati. Sesuatu terjadi pada adik saya. Tiga bulan setelah percakapan di rumah kami di Bumiayu itu, Titi pergi untuk selama-lamanya. Adik perempuan saya satu-satunya, bahkan satu-satunya cewek di keluarga saya itu dipanggil Yamg Maha Kuasa.
Parahnya, saya tidak bisa melihat untuk yang terakhir kalinya. Pada waktu yang bersamaan, saya juga tengah di rawat di rumah sakit karena gejala tifus. Gejala tifus sudah menyerang sejak saya di Bali. Waktu itu, selama satu bulan penuh saya keliling Jawa-Bali untuk bikin skenario film dokumenter Reog Ponorogo dan Hari Raya Galungan. Dan maklum saja, walaupun sering tidur di hotel berbintang, jadwal makan saya tidak teratur.
Sementara kerjaan yang saya lakukan tidak kenal waktu. Jadi, begitulah akibatnya.
Saya ingat betul, Selasa malam itu, semalaman, di rumah sakit badan saya gatal-gatal semua. Saya tidak tahu penyebabnya. Bahkan dokter yang menangani pun tidak tahu. Juga bukan kesalahan memberi obat.
Aneh bin ajaib. Praktis, semalaman itu saya tidak bisa tidur. Jarum infus di tangan pun sampai terlepas karena saya tidak mau diam. Dua suster jaga saja, sampai bingung.
Dua hari kemudian, baru saya dapat kabar dari Paman yang menjenguk saya, kalau Titi sudah tiada. Persis Selasa dini hari, pukul 2.00 WIB. Di rumah sakit umum Purwokerto, 60 kilometer dari Bumiayu.
"Dia komplikasi radang tenggorokan dan tifus. Tiga terakhir, infus aja udah nggak bisa masuk," jelas Paman.
"Kenapa baru sekarang ngasih tahu?" Saya sempat shock juga waktu itu. Ingin rasanya berlari pergi dari rumah sakit dan pulang ke Bumiayu. Tapi, kondisi saya sendiri masih lemah.
Saya tahu, Paman tidak mungkin memberitahu keadaan yang sebenarnya sementara saya sendiri sedang terbaring sakit....
***
Rasa kehilangan itu, lama sekali menguap dari ingatan saya. Penyesalan saja, rasanya tidak cukup untuk menebus rasa bersalah saya. Kenapa dulu saya tidak mengizinkan Titi sekolah ke Jakarta? Kenapa?
Semuanya memang tinggal kenangan. Dan, dalam keluarga saya, hanya Titi-lah kenangan terindah saya. Dia adik yang paling mengerti saya. Mencucikan dan mensetrikakan baju, serta yang paling cerewet kalau saya tidak rapi!
Dan, kini, sosok itu, sedikit-banyak saya temukan pada Devi. Devi memang tidak tahu karena saya tidak pernah cerita tentang semua ini padanya. Saya takut dia marah. Saya takut dikira mengada-ada. Karena, terus-terang, saya tidak ingin melihat dia marah. Saya sedih kalau dia marah. Dan saya tidak mau itu terjadi. Bahkan, untuk tiga detik pun!
Sejak pulang dari Maine, Amerika itu, sebelum dia masuk sekolah, hampir tiap hari saya menelepon Devi ke Surabaya. Jujur saya akui, saya kangen kalau tidak dengar suaranya. Pernah saya main ke sekolahannya, di Cikarang Bekasi karena ingin melihat dia. Dia tinggal di asrama.
"Kamu kok iteman, sih?"
Devi cuma menyungging senyum. "Di sini panas."
Tidak banyak yang kami omongin karena Devi harus sekolah. Jadwal sekolah dan aktifitasnya yang padat sejak bangun pagi sampai malam, membuatnya tidak punya banyak waktu untuk bersantai.
Kalau bisa sih, pingin banget saya ngasih perhatian ke Devi. Saya sudah menganggapnya sebagai adik. Saya menyayanginya seperti rasa sayang saya pada Titi. Tulus. Bahkan, saya ingin menebus 'kesalahan' yang pernah saya lakukan dulu. Persoalannya, bisakah Devi menerima semua itu?
"Kamu baik banget, sih?" suara Devi di handphone.
"Ah, cuma buku dan majalah aja, kok!"
"Iya, tapi saya nggak enak...."
Saya menelan ludah. Diam sesaat. Ah, Dev... andai kamu jadi adik saya. ©

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.
125x125 Ads1